Entri Populer

Kamis, 31 Maret 2011

ERA BARU SYAHBANDAR TG. PERAK SURABAYA

Sebagai negara bahari yang memiliki sejarah gemilang di lautan, indonesia banyak mengenal nama - nama jabatan dan kata bentuk yang klasik. Mungkin nama dan sebutan itu, berasal dari bahasa melayu. Tetapi apa salahnya dipaki secara luas untuk seluruh negeri ini, senyampang ada pengakuan bahwa bahasa melayu merupakan induk bahasa - bahasa nusantara.


Penguasa Pelabuhan
Bagi Pemimpin tertinggi disuatu unit kapal, orang barat menyebutnya sebagai Skipper dengan pangkat Captain. Ini sering menimbulkan lelucon, tentang kapten yang tak pernah naik pangkat menjadi Mayor, Sebab dalam kepangkatan militer juga terdapat pangkat perwira pertama yang disebut Kapten, Satu tingkat lebih tinggi dibanding dengan Letnan Satu, tetapi setingkat lebih rendah dibanding dengan mayor yang merupakan jenjang awal bagi perwira menengah.
Padahal, bahasa Indonesia mengenal penyebutan cantik untuk komandan kapal laut: Nakhoda. Dikapal - kapal Indonesia juga terdapat jajaran kepangkatan/jabatan dalam bahasa asing: oilman,stuurman,dll

Diantara Jabatan dipelabuhan yang mempunyai wewenang dan kewibawaan tinggi adalah SYAHBANDAR, yang di dunia pelayaran internasional dikenal sebagai Harbour Master. Disebut punya kewenangan dan kewibawaan tinggi, disebabkan oleh jabatn yang sudah dikenal cukup tua ini, merupakan orang yang memiliki kekuasaan bagaikan raja di wilayah pelabuhan. Karena itu, namanya juga merupakan paduan dari dua suku kata: "SYAH"  yang dalam bahasa melayu dan bahasa - bahasa Timur Tengah merupakan sebutan bagi raja, dan Bandar yang berarti kota-pelabuhan.
Catatan sejarah abad menengah menyebutkan bahwa tugas Syahbandar bukan hanya sekedar mengeluarkan SIB (Surat Ijin Berlayar) bagi kapal - kapal yang akan meninggalkan  pelabuhan, setelah memeriksa sertifikat kelaiklautan, sertifikat dan surat - surat keterangan yang dipunyai anak buah kapal,dll, tetapi juga mempunyai hak untuk menarik bea masuk bagi barang - barang import. Pada masa itu, umumnya para Syahbandar adalah orang - orang kepercayaan penguasa setempat, dan penguasa ini adalah mereka yang mewakili raja yang berkedudukan dipusat pemerintahan.

Gerbang Kosmopolitan
Kerajaan - kerajaan lama yang pernah ada di nusantara, seperti Sriwijaya, Siak Sri Indrapura, Samudera Pasai, Banten, Demak, Goa, Giri, demikian juga kedatuan - kedatuan "kecil" di Bali dan Maluku umumnya merupakan negara maritim. Bahkan Majapahit dan Mataram islam yang berpusat di pedalaman, tetap merupakan negara - negara agraris yang memiliki armada laut serta menguasai pelabuhan - pelabuhan penting yang berperan sebagai basis militer matra laut dan sekaligus merupakan pintu perdagangan.
Namun patut disayangkan, bahwa kehandalan dalam armada dan keunggulan dalam menyediakan komoditas perdagangan yang terkenal hingga mancanegara tersebut, tak diimbangi dalam kepandaian dalam hal mengelola pelabuhan sebagai pintu gerbang perdagangan. Penyebab utamanya, tentu untuk akibat keberadaan  pelabuhan sendiri sebagao gerbang kosmopolitan, yang banyak dikunjungi pedagang - pedagang mancanegara seperti Arab, China, India, Portugis, Belanda, Inggris dan lain sebagainya. Dalam hal berkomunikasi dengan orang asing ini, diperlukan penguasaan bahasa penghubung yang dapat dimengerti antara satu dengan yang lainnya. Padahal, para penguasa negeri inipada waktu itu dikenal memilik kendala dalam berbahasa asing.
Untuk kelancaran hubungan dengan para petinggi asing yang berkunjung atau pedagang, para penguasa mulai dari raja hingga pejabat - pejabat tinggi di suatu tempat, biasa mempekerjakan penerjemah yang merupakan orang kepercayaan, tenaga sewaan atau bisa juga tawanan yang untuk menyelamatkan jiwanya terpaksa harus mengikuti kemauan penguasa. Kondisi seperti ini jelas menguntungkan, karena biasanya para juru bahasa itu hanya menguasai satu atau dua bahasa asing. Seperti yang pernah terjadi di kerajaan Mataram Islam, dalam masa - masa awal menghadapi utusan dari penguasa Belanda dari Batavia atau penguasa Inggris dari India, Sultan Agung hanya mempunyai penerjemah bernama Pedro tawanan berkebangsaan Portugis. (HJ De Graaf "Puncak Kekuasaan Mataram",Edisis Revisi, Grafiti 2002). Baru kemudian hari terdapat penerjemah - penerjemah lain seperti Chili Poete (China), Thomas Lacotier, Cleyn (Inggris), Jan Jacobsen (Belanda),dll.

Singkeh Cong
Karena harus sering berhubungan dengan orang asing yang masuk ke negri untuk berdagang, maka para penguasa juga mengangkat penguasa pelabuhan dengan pangkat Syahbandar (di Bali disebut Subandar) berasal dari berbagai negara asing. Masih menurut Graaf, yang mengutip Coen 'Bescheden' yang menjabat syahbandar  Jepara pada 1618 ialah Encik Muda yang juga pemuka masyarakat golongan China yang merupakan pendatang dari Batavia maupun Banten.
Meskipun tidak disebutkan namanya, pengelana asal Portugal Tom Pires yang banyak mencatat identifikasi kota-kota lama di pantai utara Jawa dalam kronik "Sumaincocnita" menyebutkan bahwa Syahbandar Pelabuhan Tuban sebagai gerbang utama Majapahit adalah juga seorang China.
Sementara itu Mendes Pinto dalam kronik "Peregrinacao" mencatat bahwa, paska kejayaan Surabaya tahun 1691, diantara penguasa pelabuhan dibawah perintah Pate Sodayo (Patih Sedayu?) yang hanya disebut Lora (Lurah) Bandar, digambarkan punya kulit kuning dan bermata sipit. Dengan adanya identifikasi ini, mungkin dapat ditarik asumsi bahwa pejabat penarik bea dan cukai yang kelak mempunyai kekuasaan hingga ke Kejapanan (Mojokerto) tersebut adalah seorang dari ras Mongoloid.

Masa Peralihan
Dalam pergaulan pelayran internasional, kawasan pelabuhan dikenal sebagai Port State, yang berada di bawah kuasa Syahbandar. Bahwa Di Indonesia dan beberapa negara dikenal institusi yang mewakili pemerintah sebagai regulator di pelabuhan, hal tersebut tak  bisa menafikkan peran Harbour Master. Peran regulator disini lebih bersifat penegakkan aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah lewat Menteri Perhubungan dan instansi pelaksananya. Sementara itu hal-hal yang menyangkut pelaksanaan teknis angkutan dan lalulintas kapal tetap berada dibawah kewenangan Syahbandar.
Sebagai implementasi UU 17/2008, pemerintah telah menentukan berdirinya Otorita Pelabuhan (OP) Di empat pelabuhan utama di Medan, Jakarta, Surabaya dan Makassar. Sedangkan lembaga Syahbandar dibentuk di semua pelabuhan komersial maupun non-komersial. Sedang Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) hanya dibentuk di semua pelabuhan non-komersial.
Sesuai dengan semangat UU 17/2008 dan PP 61/2009 yang bertujuan menata kepelabuhanan nasional, maka dalam pelaksanaanya mendatang, peran Syahbandar diharapkan kembali bersinar dan tidak sekedar menjadi bayang - bayang institusi lain yang berbentuk sejak tahun 1983.
Pasang surut peran Syahbandar di Indonesia, tak dapat dipisahkan dengan kebijakan pengelolaan pelabuhan nasional yang pada masa sebelum kemerdekaan digolongkan sebagai prasarana umum yang dikelola Djawatan Pekerdjaan Oemoem (Jawatan Pekerjaan Umum) di bawah kementrian Pekerjaan Umum. Dalam catatan sejarah, pada suatu waktu tertentu, Syahbandar pernah mempunyai peran ganda sebagai "raja" di negara pelabuha, penarik bea masuk dan pajak di pelabuhan, juga pengatur operasional kepelabuhanan yang bertanggungjawab kepada penguasa di suatu daerah, sebagai perpanjangan tangan penguasa tertinggi di suatu negara.


Rabu, 30 Maret 2011

Data Pemilik

Nama   : Capt. Renaldo Sjukri,M.Mar, MM
Kantor  : Syahbandar KElas Utama Tg. Perak Surabaya
Jabatan : Kepala Seksi Laik Layar